Friday, February 8, 2008

Miss Pedas


Miss pedas

Yang penting , jangan sampai negosiasi bisnis gagal cuma gara gara sambal...!
Rasa pedas , menurut sebuah artikel di Femina , katanya bisa membangkitkan selera bersantap . Saya setuju !. Tentu , tiap orang mempunyai toleransi yang berlainan untuk tingkat kesukaan terhadap rasa pedas . Dan , bagi saya , toleransiterhadap rasa pedas itu sudah termasuk dalam kategori tingkat tinggi , sangat tinggi malah.
Mungkin bakat doyan rasa pedas ini terbentuk karena lingkungan dan genetis alias turunan . Sejak kecil misalnya , saya sudah terbiasa makan (breakfast , lunch , maupun dinner ) dengan pelengkap cabai rawit ataupun sambal . Nyaris semua anggota keluarga di rumah kami sangat doyan sambal .
Dimeja makan , Ibu saya selalu menyiapkan sambal terasi yang fresh from cobek , alias di sajikan bersama cobek dan ulekannya . Dan sambal yang disuguhkan Ibu itu selalu habis tandas , tak bersisa . Saya ingat betul , sejak SD , makan siang favorit saya sepulang sekolah adalah : nasi putih plus bandeng gorenng yang di penyet dengan sambal terasi he...he..he ! Atau , sayur lodeh yang ada potongan cabai rawitnya , empal goreng , dan tentu ...sambal terasi , biarpun sudah cukup banyak potongan cabai rawit mengapung di kuah sayur lodeh
Bahkan , dikeluarga kami cukup banyak tercipta menu dengan bhn utama cabai rawit seperti daging sambal , yang paling tidak menggunakan 1/4 kg cabai rawit untuk 1/4 kg daging . resep menu hidangan satu ini sampai sekarang masih kerap saya praktikan di rumah.
Entah kebetulan , entah tidak , saya justru mendapatkan jodoh pria yang nota bene bukan penggemar sambal ! . baginya , sambal yang dikenalnya hanya saus botolan . Itu pun sudah sangat cukup untuk membuatnya bercucuran keringat di saat makan . Alhasil , semua menu di rumah Ibu , yang menurut saya sangat menggiurkan ( karena dengan cabai rawit ! ) tidak pernah disentuhnya.
Pernah , pada tahun pertama perkawinan kami ( dan kami masih tinggal bersama ibu ) suami coba coba menikmati setiap suguhan sambal buatan Ibu mertua tercinta . hasilnya ? Ia diare dan bahkan dilarang dokter untuk makan makanan pedas , karena ada gejala maag. Save by the bell bagi suami , karena dengan begitu ia mempunyai alasan (medis ) untuk tidak menyentuh lagi sambal atau hidangan bercita rasa pedas olahan ibu mertua .
Ibu bingung (tepatnya mungkin merasa bersalah ) saat tahu hal tersebut . Padahal menurut Ibu , Ia selalu membedakan sambal yang beliau buat untuk menantunya itu : cuma dengan 2 buah cabai rawit , itupun sudah digoreng dahulu. Bandingkan dengan sambal regular yang paling tidak terbuat dari 10 buah cabai rawit dan tanpa di goreng
Alhamdulillah ! buat saya dan anggota keluarga lainnya , tidak ada hal hal menyangkut kesehatan akibat kesukaan pada makanan bercita rasa pedas . Cuma untuk situasi tertentu , saya berusaha tidak mengambil sambal terlalu banyak . Misalnya , saat lunch bersama klien kantor . Walaupun gila pedas , sambal yang terlalu banyak akan menyebabkan bibir dan telinga merah . keringat bercucuran . Lucu kan , kalau sampai negosiasi bisnis gagal gara gara saya terlalu berselera pada sambal , sementara si klien 'gerah' melihat saya bercucuran keringat , plus make up luntur dan mulut berdesis - desis kepedasan , hi...hi...hi!
Waktu masih pacaran , saya juga selalu berusaha menahan diri terhadap sambal yang menggoda selera di meja warung bakso langganan kami . Tapi sekarang 'mah' suami sudah tahu hobi istrinya . jadi kalo ada acara makan diluar , suami justru tidak pernah lupa menggeser posisi mangkuk sambal lebih dekat ke piring saya , dan sepenuh rasa sayang ia akan selalu bilang , "Sambalnya Ma...."
Romantis kan !


Published on Femina 02/XXXVI
Diah Ardiyanti - Tangerang

No comments: